Beranda » Articles posted by imizone

Author Archives: imizone

“MEWASPADAI MAKSUD ‘TERSELUBUNG’ PENAMBAHAN 20.000 TENTARA AS DI DARWIN-AUSTRALIA” BY @TrioMacan2000 – Chirpstory


http://chirpstory.com/li/97607?page=2

Rampok, Kau Perampok !


Maling…..gumamku,
Bukan, pikirku,
Ku mereka-reka sebutan yang cocok,
Kutatap cermat mukanya yang tampak bak malaikat,
Kusimak gambar wajahnya di kertas koran bekas bungkus nasi,
Akhirnya kuberseru, kau rampok……

Kau perampok, tepat itu sebutanmu,
Kau rajanya perampok, lebih tepat lagi,
Kau merampok segala macam; uang pembelian beras, uang subsidi BBM, uang cetak kitab suci, uang daging, uang bank, uang olahraga, uang SIM, uang…..asal bisa berbentuk dan jadi uang,

Kau merampok untuk anakmu, istrimu, istri keduamu, istri ketigamu, istri kesekianmu, para selingkuhanmu,

Kau merampok dengan muka berseri riang gembira,
Kau merampok dengan mulut dipenuhi kata-kata bijak bercampur ayat-ayat suci,
Kau merampok tanpa kekerasan, tanpa senjata, tanpa intimidasi, tanpa ancaman,

Kau merampok, namun banyak yang bersedia jadi pembelamu,
Kau merampok, namun polisi tetap tampak menghormatimu,
Padahal kau bukanlah seorang Robin Hood si Budiman dari belantara Sherwood,

Kubenci kamu,
Tiap orang benci kamu,
Semua orang waras benci kamu,
Tapi kau tetap sebagai Hero di hati para keluarga dan kerabatmu, pendukung dan penjilatmu,
Mereka memang tak ada bedanya dengan kau.

“KEGEMARAN PEMERINTAH ‘MELACURKAN’ SDA RI PADA ASING” BY @TrioMacan2000 – Chirpstory


http://chirpstory.com/li/93760

“KASUS DAN MODUS KORUPSI PEJABAT BULOG DENGAN BANK BUKOPIN” BY @TrioMacan2000 – Chirpstory


http://chirpstory.com/li/93939

“DUGAAN KORUPSI BADAN USAHA LOGISTIK NEGARA (BULOG) – BAG. 1” By @TrioMacan2000


http://chirpstory.com/li/15994

“KASUS KORUPSI ‘RECEH’ 40M+/TAHUN DI BULOG” BY @TrioMacan2000 – Chirpstory


http://chirpstory.com/li/92222

“NIKMATNYA MENJADI MAFIA PANGAN & ‘SAHABAT’ SBY MELAKUKAN KORUPSI DI BULOG” BY @TrioMacan2000


http://chirpstory.com/li/93313

Rakyat Miskin Tak Butuh BBM Bersubsidi?


Headline di Kompasiana pada 30 Juni 2013

Oleh : Imi Suryaputera

image

Rakyat miskin di negeri ini tak butuh Premium dan Solar bersubsidi.

Itu premis saya terkait adanya beberapa jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sejak dulu disubsidi oleh Pemerintah. Tahun 2013 ini saja subsidi untuk BBM mencapai lebih dari Rp 193 trilyun. Luar biasa banyaknya, hanya untuk dibakar dan mengeluarkan asap; sesuai namanya Bahan Bakar.

Jenis BBM yang dibutuhkan rakyat miskin agar disubsidi secara fakta adalah minyak tanah. Jenis BBM ini diperlukan untuk kompor memasak dan penerangan lampu (petromaks, teplok, ublek) di malam hari. Rakyat miskin tak memerlukan premium (bensin) dan solar bersubsidi. Kedua jenis BBM tersebut yang membutuhkan adalah rakyat kelas ekonomi menengah dan atas yang dalam tanda kutip; rakyat yang tergolong mampu.

Rakyat miskin dipastikan tak akan mampu membeli sepeda motor, meski dengan cara mencicil (kredit) pun. Mungkin mereka mampu dengan dengan bersusah payah mengumpulkan “uang muka” untuk kredit sepeda motor, tapi “uang belakang” yang menanti tiap bulan jauh lebih besar akumulasinya hingga sepeda motor lunas. Rakyat yang mampu memiliki sepeda motor yang berbahan bakar bensin (karena tak ada yang berbahan bakar solar), bukan lagi tergolong miskin. Mereka ini sudah dikategorikan rakyat golongan ekonomi menengah. Nyatanya mereka mampu membeli sepeda motor, tentu lebih mampu lagi untuk membeli bensin bersubsidi.

Tapi bensin bersubsidi bukan saja untuk sepeda motor, juga untuk mobil. Benar. Apalagi mobil, milik pribadi, pasti milik rakyat golongan mampu jika tak mau disebut kaya. Rakyat yang mampu memiliki mobil sungguh sangat tak pantas menikmati bensin bersubsidi. Itu namanya merampas hak rakyat miskin yang tak memiliki sepeda motor apalagi mobil.

Bagaimana dengan mobil angkutan umum yang melayani rakyat ? Mobil angkutan umum itu kalau tidak milik perorangan pasti milik badan usaha. Mereka ini bertujuan meraih keuntungan dengan penyediaan jasa angkutan. Juga sungguh tak pantas menggunakan bensin bersubsidi. Penumpang yang naik mobil angkutan toh membayar bukan gratis. Terkecuali pemerintah mengadakan jasa angkutan yang menggunakan BBM bersubsidi dan tarifnya jauh dibawah tarif angkutan milik swasta.

Solar bersubsidi bukan untuk rakyat miskin.

Rakyat miskin pasti tak butuh solar bersubsidi. Untuk apa dan siapa solar bersubsidi ? Pemilik truk angkutan pasti bukan orang miskin. Pemiliknya pasti tergolong mampu dan kaya. Jadi harus membeli solar industri untuk operasional truknya.

Solar bersubsidi untuk menghidupkan mesin genset ? Hanya mereka yang tergolong mampu yang bisa membeli mesin genset untuk antisipasi listrik padam. Mana ada rakyat miskin bisa beli mesin genset.

Solar untuk para nelayan melaut. Ini juga tidak tepat. Nelayan miskin pasti tak mungkin bisa memiliki perahu yang digerakkan dengan mesin bertenaga diesel berbahan bakar solar. Yang bisa dan mampu membeli perahu motor hanyalah nelayan golongan ekonomi menengah. Berarti bukan lagi tergolong rakyat miskin. Mereka ini harus membeli solar industri untuk operasional perahu motornya. Para nelayan miskin pergi melaut dengan menggunakan perahu tenaga layar.

Jadi, baik bensin maupun solar “wajib” dicabut subsidinya; menghamburkan uang negara. Jika Pemerintah ingin membantu rakyatnya yang masih miskin, tidak dengan cara memberi Balsem (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), tapi bisa dalam bentuk lain; kesehatan dan pendidikan gratis, atau bantuan permodalan bagi rakyat miskin untuk dapat berusaha meningkatkan ekonominya. Tak ada alasan yang tepat untuk terus mempertahankan subsidi kedua jenis BBM tersebut. Logikanya jika seseorang mampu memiliki sepeda motor, mesin, genset, apalagi mobil, pasti ia pun membeli BBM yang harganya jauh lebih murah daripada benda yang memerlukan BBM.

Uang sebesar lebih dari Rp 193 trilyun itu luar biasa banyak. Bila terdiri dari lembaran seratus ribuan; disambung-sambung, bayangkan berapa ribu kilometer panjangnya.

Baru Rencana, Harga BBM Sudah Lama Naik


Headline di Kompasiana pada 25 April 2013.

Oleh : Imi Suryaputera

image

Rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintah, di daerah kami tak membuat warga resah. Apakah BBM jenis Solar, Bensin, maupun Minyak Tanah (Mitan) yang harganya mau dinaikkan, warga tampak biasa-biasa saja.

Harga BBM sudah lama naik.

Harga BBM jenis Solar, Bensin, maupun Mitan, sudah sangat lama naik di daerah kami. Harga Solar dan Bensin di SPBU; yang harga bersubsidinya dipatok seharga Rp 4.500 per liter, tak jarang dijual oleh pihak SPBU seharga Rp 4.700 per liter, apalagi bila yang membeli adalah para pengumpul yang akan dijual kembali ke pihak lain.

Bensin juga sama dijual seharga Rp 4.700 per liter, dijual ke para pedagang pengecer seharga diatas Rp 5.000, lalu dijual kepada para pembeli seharga antara Rp 6.000 hingga Rp 10.000 per liter, tergantung jarak antara pengecer dengan lokasi SPBU.

Adapun Mitan, justru tak jarang harganya lebih mahal dari jenis Solar dan Bensin. Rata-rata Mitan dijual seharga Rp 8.000 per liter.

Bensin murni tanpa oplosan.

Dengan lebih mahalnya harga Mitan melebihi harga Bensin, maka tidak mungkin pihak pedagang menjual Bensin yang dioplos dengan Mitan. Dulunya memang ada pedagang eceran yang jual Bensin eceran dengan oplosan Mitan.

Mencampur Solar dengan Mitan pun pasti tidak mungkin dilakukan, karena harga Solar juga dibawah harga Mitan, jelas rugi.

Perkara harga BBM akan naik, sudah biasa di daerah kami, di Kabupaten Tanah Bumbu; sebuah kabupaten yang termasuk dalam wilayah Propinsi Kalimantan Selatan.

BBM Bersubsidi Mengalir Sampai Jauh…


Headline di Kompasiana pada 22 April 2013.

Oleh : Imi Suryaputera

image

Kemana mengalirnya BBM bersubsidi ?

Tak ada hari tanpa sepi antrian mobil maupun sepeda motor yang panjang di SPBU. Antrian tersebut sangat mengganggu lalulintas, karena memakai badan jalan umum. Baik di jalur masuk pompa untuk BBM jenis Solar maupun Bensin, sama saja, antrian panjang.

Sebagian besar dari kendaraan bermotor yang antri tersebut, hanya sebagian kecil yang memang benar-benar perlu mengisi BBM sesuai keperluan. Sebagian besar lagi, mengisi BBM dalam jumlah besar; justru untuk diperjual belikan.
Solar dibeli dari SPBU dengan harga sedikit lebih mahal dari harga bersubsidi (Rp 4.600 per liter, Rp 100 diperuntukkan bagi operator pengisi BBM), lalu dijual lagi ke para pengumpul, kemudian dijual ke pengusaha tambang batubara dengan harga sedikit dibawah harga industri.

Adapun untuk jenis Bensin, BBM ini pun dibeli dari SPBU; ada yang dengan harga normal, ada pula dengan harga yang sedikit lebih mahal, lagi-lagi untuk memberi petugas pengisi.
Bensin pun diperjual belikan kepada para pedagang eceran yang membuka kios-kios di tepi jalan. Para pengecer tersebut menjual kepada pembeli seharga antara Rp 6.000, Rp 7.000, hingga mencapai Rp 10.000 per liter (tergantung ketersediaan Bensin di SPBU).

Solar bersubsidi mengalir ke tambang-tambang batubara.

Keberadaan usaha di bidang pertambangan yang pengusahanya hampir mencapai ratusan, adalah pangsa pasar tersendiri dan tetap bagi tempat mengalirnya Solar bersubsidi. Mengalirnya Solar bersubsidi tersebut, yaitu melalui para pembeli awal, pengumpul, penyalur, dan penambang.

Selain mendapat pasokan Solar dari hasil pembelian di SPBU, para penambang juga memperoleh pasokan Solar dari kapal-kapal tarik (tugboat) yang menjual Solarnya ke pembeli di tengah laut.
Istilah jual beli Solar di tengah laut ini istilahnya “kencing”.

“Kencing” Solar dari kapal-kapal tarik tersebut, hasilnya akan dibagi ke para awak kapal. Mereka itu telah menjual aset perusahaan pemilik kapal tanpa sepengetahuan perusahaan tentunya. Apa namanya ? Kalau bukan tindakan pencurian, bisa pula disebut tindak pidana penggelapan.

BBM bersubsidi selalu kurang.

Jika melihat kondisi sedemikian rupa, berapapun BBM bersubsidi yang dipasok oleh Pertamina ke tiap-tiap SPBU, pasti akan selalu kurang. Jelas kurang, yang merasakan kurang adalah para konsumen umum yang memang benar-benar memerlukan untuk mengisi kendaraan bermotor mereka yang bukan untuk diperjual belikan. Adapun yang paling menikmati keberadaan BBM bersubsidi adalah mereka yang mencari nafkah disitu dengan menyalah gunakannya; memperjual belikannya lagi untuk keperluan lain sehingga mendapat keuntungan yang tak sedikit.

Oknum SPBU dan Polisi juga kebagian untung.

Oknum petugas di SPBU yang paling diuntungkan tentu saja petugas operator di bagian pompa yang mengisi ke para pembeli. Bagi pembeli yang ingin membeli BBM dalam jumlah banyak untuk keperluan dijual lagi, ia mesti “menyogok” petugas pengisi. Selain itu terdapat juga petugas yang langsung ikut “bermain”, menyediakan armada sendiri yang ikut membeli BBM, tentunya dengan menggunakan orang lain.

Selain itu keberadaan petugas dari kepolisian setempat. Ia juga mendapatkan keuntungan dari kegiatan penyalah gunaan BBM di SPBU itu. Jika kegiatan ingin berlangsung terus menerus dan aman, sudah pasti harus “menyogok” dan koordinasi dengan petugas kepolisian yang ditempatkan di SPBU.

Itulah gambaran kondisi yang terjadi di daerah kami; di bagian tenggara pulau Kalimantan, tepatnya di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru. Kondisi seperti ini pun juga hampir sama dialami oleh beberapa wilayah Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan.

Tatapan Mata Gadis Itu Milikku


Headline di Kompasiana pada 22 Januari 2013.

Oleh : Imi Suryaputera

image

Tadi pagi tanpa sengaja Amri bertemu Rukayah di pasar kampung. Amri datang ke pasar itu untuk mencari peralatan mandi; sabun, shampo, sikat gigi, pasta, dan alat cukur.
Hampir saja Amri tak mengenali Rukayah yang berubah agak gemuk, jika saja bukan Rukayah yang duluan menyapanya.

“Kamu Bang Amri, kan ?” sapa Rukayah dengan wajah agak ragu.
“Memangnya kenapa ?” balik Amri bertanya.
“Nama Abang Amri atau bukan, kalau bukan, maaf,” ujar Rukayah sambil menarik tangan gadis yang menyertainya.
“Benar, namaku Amri,” sahut Amri.
Mendengar jawaban Amri, Rukayah mengurungkan langkahnya untuk berlalu, lalu mengulurkan tangan menyalami Amri.

“Lagi cari apa ke pasar ?” tanya Rukayah.
“Cari peralatan buat mandi,” sahut Amri sambil memandang tajam ke arah gadis cantik yang bersama Rukayah.
“Oh iya, perkenalkan ini Raudah anakku satu-satunya, anak kamu sudah berapa ?” tanya Rukayah lagi.
Ditanya Rukayah seperti Amri jadi agak gelagapan.
“Oh ya, aku belum punya anak,” singkat Amri.

Tak banyak yang Amri bicarakan saat ketemu Rukayah tadi di pasar. Apalagi dengan statusnya yang masih lajang di usia yang sudah cukup tua, Amri tak ingin mengungkapkannya kepada Rukayah, apalagi di depan anak gadis Rukayah.

Sambil berbaring di kasur Amri mengingat waktu puluhan tahun lalu kala ia masih berseragam SMA bersama Rukayah. Amri kelas 3, sedangkan Rukayah kelas 1, mereka merajut cinta.
Mereka berpacaran cukup singkat, hanya 4 bulan sebelum Amri lulus ujian SMA.

Selepas tamat sekolah Amri pergi begitu saja tanpa sempat pamit ke Rukayah. Seorang paman Amri, adik ibunya menjemput Amri untuk diajak pergi keluar pulau. Amri meneruskan kuliah di pulau Jawa atas biaya pamannya itu.
Cukup lama tak ada kabar dari Rukayah selama Amri meninggalkan kampungnya.
Amri menulis surat kepada ibunya, menanyakan keadaan keluarganya, juga kabar beberapa temannya termasuk Rukayah.
Keluarga Amri dan keluarga Rukayah memang saling kenal meski rumah mereka saling berjauhan.

Balasan surat dari ibunya mengabarkan tak lama sepeninggal Amri, Rukayah dinikahkan oleh keluarganya dengan seorang pria dari kampung lain. Jadi Rukayah terpaksa berhenti sekolah. Itu yang diketahui oleh Amri, setelah itu ia tak lagi mengingat-ingat Rukayah hingga mereka bertemu tadi pagi di pasar.

Amri kembali mengingat peristiwa antara ia dan Rukayah ketika berpacaran di rumah seorang teman sekolah mereka yang orangtuanya sedang pergi ke kota. Waktu itu hanya Amri dan Rukayah yang berada di rumah itu, teman mereka sengaja pergi keluar memberikan kesempatan kepada keduanya untuk bebas pacaran.
“Kamu tidak menyesal kita sudah melakukannya ?” tanya Amri sambil mendekap Rukayah yang masih belum mengenakan bajunya.
Rukayah hanya diam mendengar pertanyaan Amri, ia makin mempererat dekapannya ke Amri.
“Kamu yakin tak terjadi apa-apa nanti ?” tanya Amri lagi.
Rukayah hanya menatap sendu seakan menyesali apa yang sudah mereka lakukan.

Setelah peristiwa di rumah teman mereka itu, seingat Amri, ia dan Rukayah kembali mengulanginya beberapa kali di rumah Amri didalam kamarnya saat orangtua Amri sedang tak ada di rumah.

Terbayang kini raut muka Rukayah yang tetap cantik, tak banyak berubah terkecuali mulai tampak sedikit kerutan di tepi matanya. Terbayang pula di benak Amri raut muka anak gadis Rukayah. “Ia lebih cantik dari ibunya ketika masih gadis,” gumam Amri.
Amri teringat mata gadis itu tatkala menatapnya tadi pagi. Mata itu sepertinya sangat Amri kenal. Mata itu mirip sepasang mata miliknya yang menatap tajam bak mata seekor burung elang.

Beberapa hari kemudian kembali Amri bertemu Rukayah di sebuah warung makan. Rukayah datang sendiri tanpa anak gadisnya.
“Wah ketemu lagi, bang Amri,” tegur Rukayah dengan muka ceria.
“Syukurlah kita masih bisa ketemu lagi,” sahut Amri sambil menggeser duduknya memberi tempat agar Rukayah bisa duduk dekatnya.
“Sedang nggak masak di rumah, jadinya makan di warung aja,” ujar Rukayah sembari duduk dekat Amri.
“Sama. Aku memang terbiasa makan di warung karena tak ada yang masak,” kata Amri sambil senyum.
“Kok begitu bang, istrinya kemana ?” tanya Rukayah heran.
Mendengar pertanyaan Rukayah seperti itu, Amri pun tersadar kalau ia bakalan membongkar statusnya.
“Aku dari dulu memang belum menikah,” sahut Amri datar.
“Serius, masih bujangan ?” tanya Rukayah mengecilkan suaranya.
Amri cuma mengangguk pelan.
“Suamimu mana ?” tanya Amri mengalihkan pembicaraan.
“Suamiku ada di kampungnya. Aku dan Raudah datang menengok ibu yang sedang sakit. Besok suamiku rencana datang menjenguk ibu sekalian menjemput kami,” ungkap Rukayah.

Cukup lama Amri dan Rukayah berada di warung makan itu. Mereka sengaja berlama-lama berada disana. Rukayah pun tampaknya enggan beranjak dari warung itu. Dalam hati Rukayah inilah saatnya ia mengungkap tentang anaknya Raudah kepada Amri.
“Tak berapa lama setelah Bang Amri pergi, aku dinikahkan oleh orangtua,” ujar Rukayah.
“Ya, aku tahu itu dari surat ibuku,” sahut Amri.
“Aku terpaksa menikah agar bayi dalam kandunganku memiliki seorang ayah,” cerita Rukayah agak terisak.
Amri hanya terdiam mendengar penuturan Rukayah.
“Setelah Raudah lahir, aku tak pernah lagi hamil. Menurut dokter aku bisa hamil, suamiku yang mandul,” lanjut Rukayah.
“Jadi Raudah itu……..,” suara Amri tercekat.
“Ya, Raudah itu anak Bang Amri dari hasil hubungan kita dulu,” sahut Rukayah dengan tekanan suara menurun nyaris tak terdengar.
Amri hanya terpana, di benaknya membayang raut wajah Raudah yang berganti-ganti dengan wajah Rukayah yang kini berada di depannya.